» » Soal Penyadapan & Buruh “Diarahkan” Ke Jokowi Karena “De Facto” Sudah Terpilih

Soal Penyadapan & Buruh “Diarahkan” Ke Jokowi Karena “De Facto” Sudah Terpilih

Penulis By on Senin, 11 November 2013 | No comments

JAKARTA (LKBK) – Soal penyadapan oleh Kedubes Amerika yang “diarahkan” seakan-akan tanggung jawab Jokowi, dan unjuk rasa buruh soal Upah Minimum Propinsi (UMP) yang juga diarahkan ke Jokowi, di satu sisi adalah pengakuan bahwa de facto bahwa Jokowi sudah terpilih menjadi presiden.
                Hal itu dikemukakan Sabar Mangadu, Ketua DPP Relawan Jokowi Presiden 2014 (Relawan Jokowi, Bara JP) di Jakarta Senin 11/11. Sabar merasa perlu meluruskan hal ini, supaya petinggi dan cerdik pandai jangan keterusan mendidik masyarakat menjadi anti-logika.
                “Ketika petinggi Demokrat mengalamatkan penyadapan spionase kepada Jokowi, sesungguhnya tak ada alasan rasional bahwa hal itu adalah tanggung jawab Jokowi. Namun karena dianggap sudah terpilih sesuai hasil survei, ya diarahkan ke Jokowi,” katanya.
                Sabar sepakat dengan Satrio Arismunandar, wartawan senior. “Jokowi kan de facto sudah terpilih, hanya menunggu proses formal politik. Asalkan semua proses berjalan transparan dan jujur, tak yang bisa menghambat Jokowi,” kata Satrio dalam di diskusi di Bara JP Sabtu 9/11.
                Sabar mengatakan, kita mempunyai Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg), yang secara langsung berada di bawah presiden, bukan di bawah Gubernur DKI Jakarta. Maka, pertanyaan ihwal kinerja Lemsaneg, harus dialamatkan kepada Presden RI, bukan kepada Gubernur DKI.
                Mengasumsikan Jokowi berwewenang mengatasi penyadapan oleh intelijen asing, menganggap Jokowi mempunyai wewenang mengatur Lemsaneg atau bisa memerintah Badan Intelijen Negara (BIN). Apakah kontruksi berpikir demikian benar atau salah?
                Demikian juga tuntutan buruh di mana Jokowi seakan-akan menjadi faktor penentu dalam perekonomian. Buruh lupa, soal tunjangan perumahan, transportasi, pendidikan dan kesehatan yang seharusnya diberikan pemerintah, adalah tanggung jawab presiden.
                “Upah buruh di RRC lebih rendah dibanding Indonesia, karena pemerintah pusat memberi subsidi kepada rakyat (termasuk buruh). Tarif listrik di RCC lebih murah dibanding Indonesia, karena pemerintah RRC mensubsidi transmisi tegangan tinggi,” jelas Sabar.
                Dengan berbagai subsidi pemerintah RRC kepada rakyat, maka dalam perhitungan upah buruh, komponen yang sudah disubsidi tidak dimasukkan lagi. “Kenapa di Indonesia tidak demikian, ya buruh tanya ke presiden dong, jangan tanya ke gubernur masing-masing,” tandasnya.
                Apabila konstruksi berpikir para buruh tidak segera diluruskan, maka secara langsung para petinggi organisasi buruh telah mendidik buruh menjadi anti-logika. “Saya yakin para aktivis buruh mengetahui hal ini, namun karena ada agenda khusus, jadi pura-pura tidak tahu.”

                Bila tidak segera diluruskan, kebohongan yang disampaikan terus-menerus, bisa dianggap sebagai kebenaran. Ini berbahaya, karena bangsa ini bisa lupa letak masalah, tidak tahu sumber masalah yang menyengsarakan rakyat. ***(RJ)
>Foto : Ilustrasi penyadapan.***(doc.Ist)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya