» » » » Berjuang Sekuat Tenaga, Tapi Tetaplah Siap Untuk Kalah

Berjuang Sekuat Tenaga, Tapi Tetaplah Siap Untuk Kalah

Penulis By on Minggu, 13 April 2014 | No comments

Oleh : Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono


Di bagian depan telah saya sampaikan bahwa dalam peperangan, termasuk perang politik itu tidak ada istilah middle ground, dalam arti setengah kalah atau setengah menang. Pilihannya hanya satu ~ menang.

Agar kita bisa memenangkan peperangan politik, bukan hanya pertempuran, maka kita harus berjuang sekuat tenaga. Mulai dari perencanaan, persiapan sampai pada pelaksanaan. Kita mesti mengerahkan segala energi dan sumber daya yang kita miliki. Kita juga harus mengembangan strategi dan taktik yang terbaik, yang bisa memenangkan peperangan itu. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita pasti akan menang? Bagaimana kalau kita kalah?

Sebenarnya tidak terlalu sulît untuk menjawab pertanyaan di atas. Tetapi, yang sulit adalah menjalankannya. Kalau kìta jujur, memang tidak mudah meneríma kekalahan dalam sebuah kompetisi, termasuk yang namanya pemìlihan presiden. Kita sering tidak siap. Itu kenyataan yang ada.

Oleh karena itu, Saya hanya íngín urun rembuk bagaimana kíta mempersiapkan mental kita jika ternyata kita harus menerima kekalahan. Terus terang, Saya juga tidak punya resep yang ajaib.

Guna menenangkan hati Anda yang tengah gundah karena kalah, barangkalí ada 2 hal yang harus Anda katakan berulang kalî dalam hati Anda.

Kata-kata pertama adalah "Saya tidak menyesal. Tidak ada yang salah. Saya telah berjuang sekuat tenaga. Saya tídak mujur saja."

Sedangkan yang kedua, "Semua ini kehendak Tuhan. Ini takdir sejarah. Pastilah rencana Tuhan lebih indah dibandingkan rencana manusia."

Sekali lagi kendalikan emosi Anda dengan dua kalimat bijak itu. Berkali-kali. Hayati dan camkan benar-benar.

Di bawah ini Saya akan berbagi cerita dengan Anda semua, dialog saya dengan sejumlah kandidat yang kalah dalam sebuah pemilihan. Yang ingin saya ceritakan adalah percakapan berharga saya dengan 2 kandidat kandidat yang kalah dalam sebuah pemilihan gubernur. Ceritanya indah dan menarik. 

Begitu quick count (perhitungan cepat) memenangkan Pak Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta, Pak Fauzi Bowo, Gubernur Incumbent yang dìkalahkan menelepon saya. Waktu itu hari Kamis, 20 September 2012, senja hari. Dalam percakapan itu ada 2 hal yang saya anggap sebagai mutiara pembelajaran dalam kehidupan demokrasi.

"Pak SBY, menurut quick count saya kalah. Saya minta maaf. Pak Jokowi dapat 54,89 persen, sedangkan saya 45,11 persen. Sebenarnya saya bisa saja mengadu, tetapì melìhat selisihnya cukup jauh. Oleh karena ini, saya memutuskan untuk tidak perlu mengadukan ke pengadilan, baik MA maupun MK," demikian kata Dr. Fauzi Bowo. 

Untuk diketahui, Pak Fauzi Bowo (Foke) diusung oleh Partai Demokrat dan sejumlah partai politik yang lain, sedangkan Pak Jokowi dicalonkan oleh PDIP dan Partai Gerindra. Sebelum Saya menjawab apa yang disampaikan oleh Pak Foke tadi, yang bersangkutan kembali menyampaikan hal panting lainnya. 

"Pak Presiden, setelah ini saya akan mengucapkan selamat kepada Pak Jokowi, karena saya telah menerima kekalahan ini," ujarnya dengan suara yang sedikit tergetar.

Mendengar 2 butir panting pembicaraan Pak Foke tadi, terus terang saya lega. Lega, bersyukur dan terharu. Pikir saya, peristiwa saperi ini merupakan tanda-tanda bakal makin matang dan berkualitasnya demokrasi di Indonesia. 

Dengan terharu saya langsung merespons kata-kata Pak Foke tadi: 

"Pak Poke, Anda telah berupaya dengan sungguh-sungguh. Sudah berikhtiar. Tetapi, Allah menentukan lain. Terimalah takdir Tuhan ini," pembuka kalimat yang saya sampaikan. 

Kemudian saya teruskan: 

"Barangkali oleh masyarakat Jakarta Pak Foke sudah dianggap cukup memimpin mereka. Anda sudah dua kali menjadi Wakil Gubernur. Satu kali menjadi Gubernur. Berarti sudah 15 tahun memimpin dan mengurusi Jakarta. Lihatlah dari kacamata yang positif."

"Kalau Pak Foke berniat dan berencana akan menelepon Pak Jokowi untuk mengucapkan selamat, itu suatu sikap yang luar biasa. Kesatria namanya. Sebagai sahabat Pak Foke saya bangga," tutup Saya. 

Beberapa orang yang mendengar percakapan saya dengan Pak Fauzi Bowo, Gubernur DKI Jakarta, yang baru beberapa jam sebeiumnya dinyatakan kalah oleh perhitungan cepat itu, jadi ikut terharu. 

Setelah Pak Fauzi Bowo mengucapkan selamat kepada Pak Jokowi, Gubernur DKI Jakarta Terpilih, saya juga mengucapkan selamat kepada yang bersangkutan. Ketika saya telepon dan ucapkam selamat, dari nada suaranya, Pak Jokowi tampak senang. Barangkali Pak Jokowi tidak menyangka kalau secepat itu saya mengucapkan selamat kepadanya. 

Percakapan serupa juga terjadi antara saya dengan Bung Dede Yusuf, calon Gubernur Jawa Barat, yang juga dinyatakan kalah dalam pemilihan di sana. 

"Bapak, saya melaporkan bahwa Saya belum berhasil memenangkan pemilihan Gubernur Jawa Barat. Saya berada di peringkat ke tiga. Memang, terus terang, banyak penyimpangan yang terjadi. Saksinya juga tidak sedikit. Tetapi, saya memilih tidak akan mengadukàn penyimpangan-penyimpangan itu, karena juga tidak akan mengubah keadaan. Saya menerima kekalahan ini. Saya minta maaf Pak SBY." 

Saya pun langsung merespons Bung Dede Yusuf, juga dengan perasaan terharu tetapi lega.

"Bung Dede, Anda kesatria. Itu teladan dalam demokrasi. Anda masih muda. Masih panjang perjalanan yang akan Anda lalui. Ambil hikmah dan pelajarannya, kemudian teruslah melangkah ke depan." 

Saya kira Anda semua setuju, percakapan saya dengan 2 kandidat yang kalah itu memiliki nilai panting dalam kehidupan politik dan demokrasi di negeri kita. 

Sebagaimana diketahui oleh publik, bahwa baik Pak Fauzi Bowo maupun Bung Dede Yusuf diusung oleh Partai Demokrat, sedangkan Pak Jokowi diusung oleh PDI Perjuangan dan Pak Ahmad Heryawan diusung oleh PKS. Hubungan saya baik dengan Pak Jokowi maupun Pak Ahmad Heryawan sebenarnya juga baik. Sebagai Presiden saya harus adil dan menjalin hubungan baik dengan para gubernur, bupati dan Wali kota, dari partai politik mana pun mereka berasal. Selama ini, kedua pemimpin daerah itu saya nilai juga termasuk yang berprestasi baik.


*) Dikutip dari: Susilo Bambang Yudhoyono, 2014, Selalu Ada Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 485 - 488.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya