» » » Presiden Harus Punya Visi, Agenda, dan Strategi

Presiden Harus Punya Visi, Agenda, dan Strategi

Penulis By on Jumat, 02 Mei 2014 | No comments

Oleh : Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono


SAYA kerap mendengar seorang tokoh, juga kandidat sebuah pemilihan, dengan lantang dan penuh percaya diri menyampaikan visinya. Berapi-api. Saya tersenyum, karena yang disampaikan itu bukanlah visi. Tetapi misi. Inilah persoalan pertama yang sering terjadi. Banyak yang kurang bisa membedakan antara visi dan misi. 

Ada lagi kejadian yang saya anggap juga sebuah perseolan. Seorang kandidat tidak bisa merumuskan visi yang dikehendaki, sehingga dibuatkan oleh orang lain. Misalnya tim suksesnya. Boleh saja dokumen kampanye itu disiapkan oleh pihak lain, karena barangkali seorang kandidat amat sibuk. Tetapi satu hal, seorang kandidat harus betul-betul mengerti apa itu visi, bisa merumuskan visinya tersebut dan kemudian bisa pula menjelaskan kepada orang lain. Amat tidak baik, dan akan menjadi persoalan besar bagi bangsa, jika seorang presiden tidak punya visi. Barangkali ada yang beralasan toh nanti ada menteri yang membantu saya, ngapain saya harus sibuk-sibuk memikirkan visi? Bisa saja begitu. Tetapi saya berpandangan bahwa seorang presiden harus benar-benar memiliki visi ~ misalnya, menyangkut apa yang ingin dicapai oleh Indonesia di masa depan. Misalnya, visi untuk Indonesia 2025, atau Indonesia 2045 (100 tahun setelah negeri ini merdeka), atau pula Visi Indonesia Abad ke-21. Terutama, tentu, setelah lima tahun yang bersangkutan memimpin seperti apa keadaan negara kita yang diharapkan. 

Pada acara pertemuan Puncak Pemimpin Redaksi yang diselenggarakan di Bali, tanggal 14 Juni 2013, saya memberikan pidato kunci pada forum pimpinan pers dan media massa yang jumlahnya sekitar 1.000 orang. Saya senang hadir di forum itu karena ide dan pemikiran forum itu saya nilai konstruktif dan baik. Baik dalam arti untuk membangun kehidupan demokrasi yang lebih matang dann mendidik. Apa yang disampaikan oleh Bung Wahyu Muryadi, dari majalah Tempo, dan juga Bung Suryopratomo dari Metro TV, pada kesempatan itu memberikan harapan atas peran dan kontribusi pers yang lebih baik di masa depan. 

Dalam pidato kunci yang saya sampaikan tersebut saya juga mengingatkan bahwa sebagai bangsa yang besar, kita harus punya kemampuan untuk melihat ke depan. Seorang Presiden Indonesia, baik selaku Kepala Negara maupun Kepala Pemerintahan, karenanya harus memiliki visi strategis yang menjangkau waktu yang jauh ke depan. Meskipun presiden hanya mengemban tugas selama lima tahun, kemudian apabiila dia terpilih kembali menjadi 10 tahun, dia harus bisa mengembangkan visinya minimal hingga tahun terakhir masa baktinya. Bahkan, diharapkan bisa lebih ke depan lagi. 

James Freeman Clarke menggatakan bahwa yang membedakan politisi dengan negarawan adalah politisi berpikir untuk pemilu yang akan datang, sedangkan negarawan memikirkan generasi mendatang. Saya pikir apa yang diucapkan James Clarke benar. Apalagi bagi seorang pemimpin nasional yang negaranya sedang melakukan transformasi dan reformasi.

Saya ingin memberikan sejumlah contoh atas visi yang saya bangun dan saya perjuangkan pencapaiannya selama ini. 

Visi saya tentang Indonesia 2025 adalah Indonesia sebagai emerging economy. Sekarang ini Indonesia sudahh disebut emerging market, bahkan sejumlah lembaga internasional berpandangan bahwa seharusnya Indonesia disamakan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa). Saya yakin, melihat kinerja perekonomian kita di tahun-tahun terakhir ini, visi itu insya Allah akan dapat kita wujudkan. 

Sementara itu, visi saya tentang Indonesia 2045, atau setelah 100 tahun merdeka, adalah Indonesia yang ekonominya kuat dan makin berkeadilan, Indonesia yang demokrasinya stabil dan matang, dan Indonesia yang beradabannya makin maju dan unggul.

Sedangkan visi untuk Indonesia di abad ke-21 adalah terwujudnya Indonesia sebagai negara maju (developed country). Dengan persatuan dan kerja keras, saya yakinn di abad ini Indonesia bisa menjadi negara maju. Masih ada waktu 87 tahun lagi. Tetapi, untuk menjadi negara maju, tentu kita tidak harus menunggu selama itu.

Dengan visi yang dimilikinya, seorang presiden akan bisa menetapkan strategi yang dipilih, serta kebijakan dan program yang dijalankan. Dalam tatanan menajemen pemerintahan, presiden memang dibantu oleh para menteri dan gubernur kepala daerah untuk ikut merumuskan strategi, kebijakan dan program, dan kemudian menjalankannya. Tetapi, bagaimanapun, para menteri dan gubernur tetap memerlukan apa yang menjadi visi presiden mereka.

Berbicara tentang visi, strategi dan kebijakan dasar ini kita memiliki sejumlah catatan sejarah.

Presiden Soekarno, dengan visi dan pemahaman tentang apa yang dihadapi bangsa Indonesia pada era itu, telah menetapkan Demokrasi Terpimpin dan juga Ekonomi Terpimpin. Presiden Soeharto, menetapkan Trilogi Pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan. Di era pemerintahan yang saya pimpin, berdasarkan visi yang saya rumuskan, saya menetapkan strategi pembangunan ekonomi 4 jalur (4 Track Startegy), yaitu strategi pro-pertumbuhan, pro-lapangan pekerjaan, pro-pengangguran kemiskinan, dan pro-lingkungan.

Ketika dunia mengalami krisis perekonomian global di tahun 2008-2009, saya mengembangkkann strategi penyelamatan dan pemulihan perekonomian Indonesia dengann apa yang saya sebut "Keep Buying Strategy". Artinya, ekonomi kita akan selamat jika sektor riil masih bergerak. Sektor riil tetap bergerak jika perusahaan-perusahaan tidak bangkrut. Agar tidak bangkrut barang dan jasa yang diproduksinya harus tetap ada yang membeli.

Keadaan ini dapat kita wujudkan jika kebutuhan akan barang dan jasa (demand)tetap terjaga. Artinya, rakyat kita masih memiliki kemampuan untuk membeli. Oleh karena itu, daya beli rakyat harus dapat kita jaga. Pemutuhsan Hubungan kerja (PHK) sejauh mungkin dicegah dan dihindari. Bagi golongan tidak mampu kita bantu kemampuannya. Bagi perusahaan yang mengalami masalah kita bantu agar tidak ada PHK dan tetap bisa menjual produksi barang dan jasanya dengan harga yang wajar. Bantuan ini antara lain dengan pemberian insentif fiskal. Dengan demikian diharapkan tidak ada perusahaan yang bangkrut, sehingga tidak ada PHP yang besar, dan rakyat tetap bisa mencukupu kebutuhan pokok sehari-harinya.

Sejarah menunjukkan bahwa startegi, kebijakan, dan langkah-langkah penyelamatan krisis ini berhasil kita laksanakan. Ekonomi kita selamat dan bahkan tergolong sebagai ekonomi yang tumbuh tinggi di kala dunia mengalami krisis. Amat berbeda dengan situasi di tahun 1998 dulu. 

Menyangkut penyelesaian konnflik bersenjata Aceh yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun, saya memilih penyelesaian politik secara damai. Tujuan yang hendak kita capai jelas. Konflik bersenjata dapat diakhiri dan Aceh masih tetap menjadi bagian dari NKRI.

Berkaitan dengan normalisasi hubungan Indonesia dengan Timor Leste pasca 20 Mei 2002, yang dikenal sebagai restorasi kemerdekaan Timor Leste, saya memilih mengakhiri sisa konflik dan residu masalah itu. Seperti isu pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Dili pada bulan September 1999, saya memilih dan berdiplomasi secara gigih untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (The Commission of Truth and Friendship) ketimbang persoalan itu diangkat dan ditangani oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lembaga internasional yang lain. 

Berkaitan dengan utang Indonesia terhadap IMF yang berjumlah sekitar 68 triliun rupiah, saya memilih untuk segera melunasinya. Dengan telah dilunasinya utang yang besar itu pada tahun 2006-2007, serta dibubarkannya Concultative Group on Indonesia (CGI), maka negara kita tidak lagi 'disandera' oleh siapa pun. Kita bisa merancang dan melaksanakan sendiri pembangunan kita tanpa dicampuri dan didikte oleh IMF dan negara-negara lain. ***

*) Dikutip dari: Susilo Bambang Yudhoyono, 2014, Selalu Ada Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 530 - 533.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya