Sesaat lagi masyarakat Surabaya akan menyongsong hari penting pada tanggal 19 September 2013. Saat itu, kita akan memperingati Insiden Bendera yang terjadi pada 68 tahun silam. Kejadian yang dikenang sebagai momentum bersatunya seluruh komponen masyarakat Surabaya, termasuk Arek-arek Surabaya, berbagai organisasi kepemudaan, masyarakat, Tentara, Polisi, dan Pemerintah untuk satu tujuan.
Tanggal 19 September 1945 juga menjadi sangat pantas bila diingat sebagai pertempuran pertama bagi Arek-arek Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia. Secara bersama-sama, mereka bertempur serta berhasil menurunkan bendera Belanda dan menaikkan bendera sang saka Merah Putih. Lokasi peristiwa bersejarah saat itu berada di Situs Menara Bendera sisi Utara Yamato Hoteru (sekarang Hotel Majapahit).
Insiden Bendera ini pula yang kemudian diikuti kejadian perjuangan selanjutnya di Surabaya. Pada tanggal 27 Oktober 1945, Arek-arek Surabaya kemudian menyerang sekutu di Surabaya, bahkan berhasil mengepung serta nyaris melumpuhkan kekuatan mereka. Hal inilah yang kemudian memaksa pihak musuh pada tanggal 30 Oktober 1945 mengundang Presiden RI saat itu untuk datang ke Surabaya dan mengadakan perundingan.
Perundingan dengan kesepakatan gencatan senjata memang akhirnya dapat dicapai. Namun pada sore harinya, tembakan bren dari tentara sekutu di Jembatan Merah memicu aksi pertempuran kembali yang menelan korban tewasnya seorang jenderal dari pihak mereka. Dimana inilah satu-satunya kejadian seorang jenderal sekutu tewas di medan perang.
Kronologis selanjutnya adalah sekutu akhirnya mengeluarkan ultimatum supaya pada tanggal 10 Nopember 1945, seluruh Arek-arek Surabaya harus menyerahkan semua senjatanya pada mereka. Ketika sampai saatnya tiba dan Arek-arek Surabaya tetap tidak mau menyerah, kemudian pihak sekutu pada tanggal itu pula mulai membombardier Surabaya dari laut dan udara.
Saat ini, tidak banyak lagi masyarakat yang mengenal atau mengetahui peristiwa Insiden Bendera. Arek-arek Surabayapun sudah jarang memperbincangkan kejadian yang membanggakan bagi mereka. Slogan bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah sudah saatnya untuk disosialisasikan dan di publikasikan kembali untuk menggali jiwa patriotisme pada anak bangsa dan generasi penerus bangsa.
Untuk mengenang, mengingat kembali, dan menghargai serta menghormati momentum berharga semangat perjuangan Arek-arek Surabaya tersebut, Ananto Sidohutomo, Dr. MARS. (budayawan) menggagas menampilkan sebuah monolog di Puncak Situs Monumen Bendera di Sisi Utara Hotel Majapahit (dulunya Yamato Hoteru/ Hotel Oranje).
Monolog yang rencananya dilakukan Ananto di Situs Menara Bendera sisi Utara Hotel Majapahit memiliki tantangan yang ekstrim. Untuk mencapai tempat tersebut saat inipun harus melewati 2 (dua) buah tangga vertikal setinggi 3 meter lebih. Situs Menara Bendera itu sendiri terletak di ketinggian lebih 20m dpl, memiliki ruang gerak (block) sempit yang hanya memiliki dimensi luas 0,8m X 2m.
Membayangkan ketinggian dan sulitnya mempertahankan posisi berdiri karena angin kencang yang juga sering berubah arah saat melakukan monolog tentu menimbulkan kemungkinan terjatuh dan perasaan gamang. Untuk memperkecil resiko, akhirnya panitia memutuskan untuk memasang tali pengaman yang diikatkan pada tiang bendera dan disambungkan pada tubuh Ananto.
Ananto sendiri mengakui beratnya tantangan melakukan monolog tersebut. "Monolog sebagai bagian dari aktualisasi seni tentu sudah merupakan tantangan berat tersendiri, paling tidak harus dapat mengalahkan diri sendiri untuk melakukannya, apalagi dilaksanakan di medan yang ekstrim seperti itu, perlu pengamanan ekstra".
Ketika ditanya komitmennya melakukan gagasan menampilkan monolog itu, Ananto menjelaskan, "Utamanya adalah membangkitkan kembali semangat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang berprinsip mempertahankan NKRI dan Pancasila, juga khususnya mentransformasikan nilai-nilai keindahan dari perjuangan, kerelawanan, patriotisme dan kepahlawanan Arek-arek Surabaya".
Monolog Insiden Bendera pada tanggal 19 September 2013, Pk. 20.00 s/d 21.00 ini menjadi menarik karena merupakan peristiwa yang pertama kali diadakan di Situs Menara Bendera. Jumlah pengunjung yang dapat menonton di atap dekat monument sangat terbatas, tidak lebih dari 50 orang saja. Namun bagi peminat lainnya, juga dapat menyaksikan dari pedestrian sisi barat jalan Tunjungan seberang Hotel Majapahit.
Ananto adalah Arek Surabaya yang lahir, bersekolah, bekerja dan berkarya di Kota Surabaya belakangan ini sering pula disebut-sebut sebagai "Budayawan Tunjungan", karena termasuk Arek Surabaya yang kembali menggagas dan ingin mewujudkan Tunjungan Ikon Surabaya. Cara yang dilakukannyapun tergolong unik, yaitu dengan cara "Ngamen" setiap hari Minggu saat acara car free day selama 6 bulan lebih ini.
---
Kegiatan monolog ini juga bisa dimasukkan dalam rangkaian kegiatan budaya Festival Tunjungan pada tanggal 19-22 September 2013 di lokasi Jalan Tanjung Anom. Diselenggarakan oleh panitia bersama terdiri dari Karang Taruna genteng, PKK, Komunitas Tunjungan Ikon Surabaya dan didukung oleh Muspika Genteng.
Menjawab kaitan antara budaya, penampilan monolog dan masyarakat Surabaya tersebut Ananto menjelaskan, "Budaya adalah the way of life seseorang dan masyarakatnya, termasuk cara kita menghargai sejarah, heritage, tradisi dan seni. Monolog yang menyajikan epik sejarah perjuangan Arek-arek Surabaya di Situs ini tentu termasuk dalam budaya Surabaya. Kesemuanya milik kita ini adalah modal yang luar biasa dalam membangun differentiation bagi pengembangan Pariwisata Kota Surabaya. Disitulah nanti akan secara otomatis mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat melalui pemberdayaan dan industri kreatif.
Konfirmasi undangan di acara ini, mohon menghubungi Ibu Lisa (Markom Majapahit Hotel) di nomor telepon : 0878 5151 8398