Pendapat ini dituangkan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi dalam putusannya yang final dan mengikat yang menolak pengujian UU Parpol dan UU Legislatif yang diajukan oleh Adi Warman selaku ketua umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK). Menurut Mahkamah, dalam melaksanakan kedaulatan rakyat, peran parpol adalah sebuah keniscayaan. Keberadaan fraksi-fraksi yang berasal dari gabungan berbagai macam partai politik merupakan konsekuensi logis dari sistem politik yang dianut di Indonesia.
Berseberangan dengan Pemohon, Majelis Hakim justru menilai keberadaan fraksi tidak hanya sekedar sebagai wadah berhimpunnya para anggota parpol yang duduk di lembaga legislatif, tetapi lebih dari pada itu, keberadaan fraksi juga memudahkan pengambilan keputusan di lembaga legislatif. “Fraksi sebagai representasi parpol juga merupakan wadah artikulasi dari aspirasi parpol yang bersangkutan yang merupakan bagian dari aspirasi politik rakyat,” ucap Hakim Konstitusi Anwar Usman. Walau bukan bagian dari alat kelengkapan lembaga legislatf, namun MK berpendapat musyawarah yang dilakukan antar fraksi akan memudahkan pengambilan keputusan oleh seluruh anggota parlemen.
Dengan demikian, MK sependapat dengan DPR dan Pemerintah yang memutuskan keberadaan fraksi-fraksi dalam tubuh lembaga legislasi, mutlak diperlukan. “Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” tegas Hamdan Zoelva mengakhiri pembacaan putusan.
Sebagaimana diketahui, gugatan ini diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) yang mempersoalkan keberadaan fraksi-fraksi yang ada di MPR RI, DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten Kota, yang merupakan bagian dari parpol dan dianggap hanya merupakan alat kepanjangan parpol untuk mendikte anggota dewan sehingga tidak dapat maksimal menyuarakan aspirasi konstituennya. Pemohon menilai tak pantas seluruh pembiayaannya dibebankan pada APBN /APBD***(Julie/mh)