» » 9.739 Caleg Siap Stres

9.739 Caleg Siap Stres

Penulis By on Minggu, 06 April 2014 | No comments

Oleh Hasan Basri M. Nur *)
PEMILU Legislatif (Pileg) 2014, tampak lebih seru dibanding pileg sebelumnya. Selain ketatnya persaingan antarpartai politik, juga karena banyaknya calon anggota legislatif (caleg) yang menggantungkan impian menjadi legislator. Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh mencatat jumlah caleg di Aceh sebanyak 10.487 orang, sementara daya tampungnya hanya 748 kursi untuk semua level lembaga legislatif. Artinya, akan ada 9.739 caleg yang gagal dan stres usai Pemilu.
Stres adalah suatu kondisi tertekan dan terbebani secara psikis yang dialami seseorang karena tidak terciptanya suasana tertentu sebagaimana yang diidam-idamkan. Stres terkadang membuat seseorang tidak mampu mengendalikan diri, mudah tersinggung, marah, gemetar, bahkan mengamuk. Stres bukanlah gila, walau ia dapat menjadi awal dari proses kegilaan, terutama jika tidak mampu mengendalikan emosi.
KIP Aceh/KPU RI sebagaimana dilansir Serambi Indonesia (10/2/2014), mencatat jumlah caleg di seluruh Aceh sebanyak 10.487 orang dan memperebutkan 748 kursi untuk 23 DPRK, DPRA, DPR-RI dan DPD. Di level DPR-RI tercatat 155 orang caleg memperebutkan 13 kursi; DPD 40 orang membidik 4 kursi; DPRA 1.259 caleg untuk 81 kursi; dan di level kabupaten/kota terdapat 9.033 caleg mengincar 650 kursi.
Kampanye individual
Pemberlakuan aturan caleg dengan perolehan suara terbanyak yang berhak mewakili partainya ke kursi dewan, membuat semua caleg berbunga-bunga, karena tidak lagi terpengaruhi nomor urut seperti pada pemilu di bawah 2009. Para caleg pun berlomba-lomba melakukan kampanye individual. Poster milik caleg hanya menampilkan nama dan nomor urutnya saja, sementara nama sahabat atau rekan separtai tidak dimunculkan karena khawatir akan membuat publik memilih kawannya.
Melihat persediaan kursi legislatif yang tidak sebanding dengan jumlah pelamar, maka akan ada banyak caleg yang kecewa setelah hari "H" 9 April 2014 nanti. Sebanyak 9.739 caleg (92,87%) akan gagal melangkah ke gedung parlemen. Impian mendapatkan gaji besar, fasilitas rumah, mobil, studi banding hingga uang "ini-itu" akan sirna. Biaya operasional semasa kampanye akan musnah, tak punya harapan kembali.
Caleg-caleg gagal mesti siap mental agar terjauh dari ancaman gangguan jiwa. Kalau hanya sebatas mengalami stres ringan, ia tak menjadi masalah karena dapat diobati oleh diri sendiri dan keluarga, tanpa perlu keterlibatan psikolog atau konselor. Sikap antisipatif sejak dini yang ditunjukkan manajemen Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Banda Aceh yang menyiapkan kamar khusus untuk melayani caleg gagal patut diacungi jempol (lihat: RSJ Siapkan Ruangan bagi Caleg Stres Pascapemilu, Serambi, 23/1/2014).
Sementara mereka yang tersenyum dan akan mengenakan jas dan sepatu mengkilap untuk dilantik sebagai wakil rakyat hanya 7,13 persen saja. Sebuah peluang yang sangat kecil dan membutuhkan perjuangan ekstra untuk meraihnya. Peluang caleg yang akan memenangkan pertarungan ada pada mereka yang memiliki basis massa yang jelas dan mempunyai nilai lebih di mata masyarakat. Sementara caleg dadakan alias tampil lam siklep siklap diperkirakan harus gigit jari.
Para kandidat wakil rakyat telah mengeluarkan biaya, tenaga dan pikiran yang tak terhitung sejak mereka ditetapkan dalam daftar caleg. Sejak itu, mereka mulai memperkenalkan diri dan nomor urut kepada publik melalui beragam alat peraga, seperti spanduk, poster, baliho, kartu nama, selebaran, kalender hingga iklan media cetak dan elektronik. Mereka bahkan menyiapkan tim sukses untuk menggalang dukungan rakyat.
Semua langkah yang ditempuh sejak masa sosialisasi hingga fase kampanye membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Caleg level DPRK menghabiskan biaya sosialiasi antara Rp 25-100 juta; level Provinsi (DPRA) sekitar Rp 100-500 juta; dan level Pusat (DPR-RI dan DPD) di kisaran Rp 500 juta-Rp 5 miliar. Besaran biaya sosialisasi dan kampanye caleg ini sesuai wilayah kerja, makin tinggi posisi makin tinggi pula cakupan wilayah kerjanya.
Besaran biaya ini juga sangat tergantung dari kemampuan finansial sang caleg yang dilatari berbagai profesi; mulai dari pengusaha, ibu rumah tangga hingga buruh tani dan tukang becak. Kalau diasumsikan setiap caleg mengeluarkan biaya kampanye rata-rata Rp 150 juta, maka dari total 10.487 caleg akan terkumpul total dana Rp 1.573.050.000. Fantastis!
Uang Rp 1,5 triluin itu tersebar di ranting pohon, tiang listrik, baju kaos, kertas koran, tembok pagar hingga amplop serangan fajar. Andai para caleg mengumpulkan dan menginfaqkan dana itu untuk membangun panti asuhan, misalnya, maka akan terbangun 15 panti besar nan lengkap di seluruh Aceh. Pahalanya pun dipastikan akan mengalir abadi untuk mereka hingga hari kebangkitan karena tercatat sebagai bagian dari amal jariyah. Mudah-mudahan hitung-hitungan atau boh tektok ini menjadi bahan renungan, dan mereka bersedia berdiri di garda depan dalam menggalang dana baru untuk menyantuni fakir-miskin usai pemilu nanti.
Kursi parlemen yang sangat terbatas itu akan diisi oleh orang-orang yang telah bersungguh-sungguh dalam bekerja, terutama dalam konteks pengabdian masyarakat. Rakyat akan memilih wakilnya yang tersebar dalam 12 partai nasional (parnas) dan 3 partai lokal (parlok). Kedaulatan seutuhnya ada di tangan rakyat, dan sejatinya tidak ada yang berupaya membodohi apalagi memaksa-maksa rakyat.
Kita berharap agar rakyat cerdas dalam memilih dan tidak menggadaikan kedaulatan yang ada di tangannya. Untuk kelompok yang pernah putus asa hingga mengambil posisi golongan putih (golput), sebaiknya memanfatkan suaranya pada hari "H" untuk mencegah penyalahgunaan oleh pihak lain, minimal datang dan rusaklah kertas suara milik Anda. Lampiaskanlah kekecewaan dalam bilik suara, jangan meupeep-peep alias merepet di warung kopi.
Jadikan pelajaran
Akhirnya, kita berharap agar para caleg yang gagal menjadikan momentum Pemilu 2014 sebagai ajang pelajaran menuju sukses pada pesta demokrasi berikutnya, Pemilu 2019. Kerugian finansial dan mental yang dialami pada Pemilu 2014 ini, sejatinya menjadi modal untuk bangkit pada even yang sama lima tahun mendatang.
Perlu direnungkan bahwa pengeluaran biaya besar menuju gedung parlemen, dapat mendorong seseorang untuk menempuh jalan ilegal dalam mengembalikan modal. Rakyat tak pernah berharap wakilnya berbuat curang, apalagi sampai "diborgol" tangannya di gedung parlemen.
Perlu pula dicamkan, menempuh cara-cara haram berupa kecurangan akan menghasilkan kursi yang haram. Kursi haram akan menghasilkan imbalan/gaji yang haram pula. Nah, tentu tak ada seorang pun yang berharap untuk hidup dalam gelimang dosa berkepanjangan. Sebab, semua insan akan kembali kepada Sang Pencipta untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya semasa hidup di dunia. Semoga!
*) Dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Editor Buku "Parnas vs Parlok". Email: hb_noor@yahoo.com

Baca Juga Artikel Terkait Lainnya