» » Leasing/Finance Bagaikan NERAKA Bagi Konsumen

Leasing/Finance Bagaikan NERAKA Bagi Konsumen

Penulis By on Jumat, 09 Mei 2014 | No comments

Jakarta,  Lembaga pembiayaan lembaga keuangan non bank,merupakan perusahan pembodohan, penipu, pemeras, menciptakan premanisme merugikan negara milyaran rupiah pertahun tarif jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang berlaku pada Kementrian Hukum dan HAM. Melanggar antara lain : PMK-RI No.130/PMK.010/2012 tentang pendaftaran jaminan fidusia bagai perusahaan pembiayaan dan PMK /RI No.43/PMK.010/2012 tentang uang muka pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor pada perusahaan pembiayaan.PP-Ri No.86 tahun2000 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia,PP-Ri No.38 tahun 2009. Tentang jens dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementrian hukum dan HAM.undang undang No.42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia UU.No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.Apakah UU.untuk hukum atau kekuasaan..??? Menurut Badru Munir Kabid Pengawasan Jasa Leasing dan Perbankan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Bhayangkara Utama menuturkan," Maraknya lembaga pembiayaan atau finance di anggap memberikan solusi positif bagi masyarakat berpenghasilan rendah,masyarakat merasa terbantu,yaitu cukup menyediakan uang muka,motor /mobil pun sudah bisa di bawa pulang sekali pun akhirnya menjadi neraka bagi konsumen. Permasalahan timbul ketika konsumen terlambat atau menunggak angsuran atau tidak mampu lagi mengangsur sebagi mana yang telah di setujui dalam perjanjian Lembaga Pembiayaan. Di perparah dengan sikap konsumen / debitur yang masa bodoh dan pasrah menghadapi sistem kapitalis, manis di awal menawarkan produknya dan menjadi kejam dan bengis. ketika konsumen /debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya sesuai dengan darurat yang menghipit  keadaan.
Berbagai kenyataan yang di hadapi konsumen karena PHK anak istri sakit DLL, mana membayar sewa rumah. terjadilah "kredit macet "akibat pengeluaran tidak terduga yang harus di selesaikan seketika  angsuran mulai macet, debt colector yang menagih  hutang belum berhasil, masih tersenyum kesal, setelah beberapa kali datang datang menagih hutang konsumen, debt kolektor mulai mengeluarkan jurus cara cara kasar, mengancam, mengebrak dan merampas motor atau mobil  yang ada di rumah konsumen. kalau hal ini masih gagal, ketika konsumen memakai kendaran di tengah jalan dan mempermalukan konsumen penunggak di giring  kekantor pembiayaan dan memaksa konsumen bertanda tangan mengakui, kalau motornya di alihkan. Kenyataan ini di alami ratusan konsumen karena tidak mengertinya hukum akhirnya pasrah menyerahkan hak miliknya secara tidak sadar. Apabila cara-cara kekerasan tersebut tidak berhasil, ada cara-cara lain yang dianggap cantik,cara ini cukup ampuh, konsumen yang nunggak bayar dilaporkan kepolisi karena dipanggil polisi, orang yang tidak mengerti hukum jadi takut. Polisi dengan alasan setiap perkara yang dilaporkan harus ditangani kemudian memanggil konsumen,memeriksa dan menuangkan dalam BAP, sedangkan terkait dengan kendaraan konsumen, dirayu supaya menyerahkan hak miliknya dengan sukarela. Hal ini tidak mempan,''POLISI'' tersebut, konsumen dijadikan tersangka pasal 36 UU Fidusia tahun 1999 , sangat dipaksakan, karena jelas-jalas terdapat kelemahan secara Hukum, diantaranya : Lembaga pembiayaan tersebut melakukan kontrak perjanjian dengan konsumen tidak di hadapan notaris, sehingga hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai perjanjian  "dibawah tangan" karena tidak ada "akta notaris" sebagai KEKUATAN HUKUM atas perjanjian tersebut. Di dalam pasal 1320 KUHPerdata disebutkan salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya "syarat objektif", yang salah satu unsur dari syarat objektif tersebut adalah perjanjian yang dibuat harus mempunyai KEKUATAN HUKUM. Jika syarat objektif tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Artinya perjanjian itu dianggap tidak ada, dan tidak ada hak untuk pihak manapun melakukan penuntutan pemenuhan perjanjian tersebut di mata hukum. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam prakteknya leasing telah dengan sengaja melanggar pasal 1320 KUHPerdata.

Didalam perjanjian kontrak antara finance dengan konsumen di sebutkan bahwa perjanjian tersebut dibuat dengan "penyerahan hak milik secara Fidusia", tetapi perjanjian fidusia tersebut tidak didaftarkan dikantor pendaftaran fidusia untuk mendapatkan "sertifikat fidusia". Sedangkan di dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata cara Pendaftaran Fidusia dan Biaya Pendaftaran Fidusia disebutkan salah satu syarat pendaftaran Fidusia adalah adanya salinan "Akta Notaris" yang disebutkan di atas. Dikarenakan perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan sehingga tidak ada akta notaris maka tidak bisa dibuatkan sertifikat fidusia. Jadi dapat disimpulkan bahwa leasing telah dengan sengaja melanggar UU No. 42 Tahun 1999 Jo  PP No. 86 Tahun 2000.

Didalam perjajian antara pihak finance dengan konsumen dicantumkan "Klausula Baku". (Yang dimaksud klausula baku adalah aturan yang telah dibuat atau disiapkan terlebih dahulu secara sepihak) dan di dalam klausula baku tersebut dinyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada finance untuk melakukan segala tindakan terkait objek jaminan fidusia tersebut. Dengan dalih berdasarkan kuasa dari konsumen dalam klausula baku yang dicantumkan di dalam perjanjian dibawah tangan tersebut, pihak finance membuat akta notaris dan sertifikat fidusia secara sepihak, sehingga konsumen tidak memegang salinan akta notaris dan sertifikat fidusia tersebut karena konsumen tidak turut serta menghadap notaris, melainkan dikuasakan kepada pihak finance. Sementara di dalam pasal 18 ayat 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : " pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian apabila Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang di beli konsumen secara angsuran. Dan Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran."  Dalam poin ini bisa dikatakan bahwa leasing telah dengan sengaja melakukan penyimpangan dan pelanggaran terhadap Pasal 18 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan jeratan sangsi pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak 2 Milyar rupiah, sebagai mana dimaksud dalam pasal 62 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Dan di dalam UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris disebutkan bahwa didalam proses pembuatan satu akta harus "dihadiri oleh para penghadap, dihadiri oleh paling sedikit dua saksi, dibacakan saat itu juga oleh notaris di depan para penghadap dan saksi, di tanda tangani saat itu juga oleh notaris dan kedua penghadap serta kedua saksi tersebut, dan masing-masing pihak diberikan salinan akta tersebut". Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat  fidusianya atau yang sertifikat fidusianya dibuat secara sepihak maka objek jaminan fidusia tersebut tidak mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi). Maka disaat terjadi 'Wan Prestasi" atau kemacetan dari konsumen pihak finance tidak bisa melakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia tersebut. Fakta di lapangan pihak finance justru melakukan eksekusi secara sepihak tanpa melalui instansi pemerintahan terkait dan berdasarkan aturan perundang-undangan yang berlaku, biasanya pihak finance menggunakan tangan-tangan "Debt Collector" untuk melakukan eksekusi, Padahal perbuatan mereka tersebut bisa dikategorikan Perbuatan Melawan hukum (PMH) sebagaimana disebutkan dalam pasal 1365 KUHPerdata, dan konsumen pun dapat melakukan gugatan ganti rugi menurut pasal ini.
Bahkan dalam konsep hukum pidana, eksekusi objek jaminan fidusia yang dilakukan dibawah tangan masuk dalam tindak pidana apabila pihak finance melalui tangan Debt Collector tersebut melakukan intimidasi, menakut-nakuti, serta melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan, sebagai mana disebutkan dalam pasal 368 KUHPidana. Pasal ini menyebutkan : "barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu barang, yang sepenuhnya atau sebagian adalah milik orang itu atau orang lain, untuk supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan." Ketentuan pasal 365 ayat dua, tiga, dan empat berlaku juga untuk kejahatan ini. Berdasarkan penyimpangan dan perbuatan melawan hukum tersebut diatas maka menimbulkan akibat hukum yang komplek dan beresiko tinggi. Perbuatan melawan hukum, dan tindakan sepihak, serta arogansi debt collector yang terus terjadi menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Sehingga terjadilah perlawanan dan penyerangan secara sistematis yang dilakukan oleh sebagian banyak masyarakat terhadap aturan dan sisitem perusahaan leasing yang tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan jelas telah merugikan Negara dan masyarakat sebagai konsumen, tutur Badru Munir.**(H 41 DY - YND)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya