» » Kebijakan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Tahun 2013

Kebijakan Hubungan Keuangan Antara Pusat dan Daerah Tahun 2013

Penulis By on Selasa, 29 Oktober 2013 | No comments

JAKARTA (LKBKalimantan.com) - Dalam belanja modal bisa mendongkrak infrastruktur, dan pertumbuhan  ekonomi tahun lalu realisasinya belum menggembirakan. Bahkan tahun ini, kita lihat bulan Maret, realisasi belanja infrastruktur pada pemerintah pusat masih kurang dari  5% lebih rendah dari tahun  2012, pada bulan yang sama. Ternyata belanja daerah pada 2012 juga lebih rendah dari tahun 2011. Demikian disampaikan  Wakil Menteri Keuangan, Anny Ratnawati saat  menjadi pembicara dalam acara Musyawarah Perencanaan  Pembangunan  (Musrenbang)  DKI  Jakarta 2013, di Balaikota Provinsi  DKI Jakarta,belum lama ini . Implikasi dari rendahnya belanja infrastruktur dan belanja daerah adalah terjadinya situasi yang kontra produktif, dimana tahun ini ekonomi Indonesia sedang memerlukan percepatan pertumbuhan. International Monetary Fud sudah mengeluarkan perkiraan  angka baru pertumbuhan ekonomi, dimana ada kemungkinan bergeser ke bawah dari 6,5% kearah 6,3%.  Implikasinya adalah kalau pertumbuhan  ekonomi, mengalami penurunan maka penciptaan lapangan kerja tidak bisa kita capai seperti yang kita targetkan. Jika demikian, kita harus memastikan bahwa belanja infrastruktur harus bisa kita tingkatkan, terutama belanja daerah. Mengapa belanja darah ? Karena dari total APBD belanja kurang lebih Rp. 1.657 triliun, sekitar 6185% itu melalui daerah. Transfer ke daerah saat ini sebesar Rp. 528,6 triliun, dimana sebanyak 31,39% itu transfer daerah. Belanja pusat ke daerah dalam bentuk Dekon/TP sekitar Rp. 170 triliun atau 10.3%. Selanjutnya, ada belanja pusat di pusat sekitar 38.15% bantuan sosial dan subsidi sekitar 18.68%. Dari data yang ada, ternyata dana yang jatuh ke daerah sebesar 1.025,4 triliun atau 61.80%. Oleh karena itu, kalau orang bertanya siapa yang punya dana paling banyak, tentu jawabnya adalah daerah. Sebab, tahun  2012, dana daerah yang tersimpan di BPD ( berupa SILPA) diseluruh Indonesia mencapai RP 99,2 triliun.

Dalam kondisi demikian, tidak benar jika daerah kekurangan uang. Yang kurang adalah kemampuan mengeksekusi program dan kegiatan  sehingga  dananya tersalurkan/terpakai. Yang berhak menggunakan dana tersebut adalah daerah (Provinsi dan Kab/Kota), namun harus dibicarakan dengan pihak DPRD. Menurut catatan Kementerian Keuangan, hingga Februari 2013, hampir 150 perda belum disetujui. Dengan demikian, pada Maret 2013, Kementerian Keuangan menulis surat kepada 17 daerah dengan mengingatkan bahwa terpaksa  Dana Alokasi Umum (DAU) ditunda penyalurannya. Sementara itu , terkait dengan masalah pendanaan non konvensional, kita akan bicara yang pasti di tangan daerah. Pemerintah daerah menerima dalam bentuk transfer (DAU, DBH, DAK). Kementerian Keuangan juga sudah memberikan  kewenangan kepada daerah yang lebih besar untuk melakukan retribusi dan pungutan daerah, termasuk pengalihkan sebagai pajak pusat, misalnya  BPHTB dan PBB-P2. Selain itu ada pajak-pajak lain yang sudah diberikan kepada daerah, antara lain memperluas objek seperti pajak hotel, pajak restoran, dan sebagainya. Terkait dengan masalah pajak, problem  utama yang bisa dicermati bukan pada tarifnya melainkan pada proses collecting (pemungutan). Dalam hal ini, harus ada perbaikan sistem pemungutan di pemerintah daerah. Sebagai contoh, setelah  PBB-P2 diserahkan kepada daerah, per Maret 2013, DKI  Jakarta mampu meraih angka sekitar  Rp.2,4 triliun. Disini penting  untuk diketahui adalah bagaimana kita dapat mengoptimalkan belanja barang dan jasa. Jika kita berbicara beban anggaran pada pemerintah pusat, Kementerian  Keuangan harus menanggung biaya subsidi untuk listrik dan BBM. Tahun 2012, subsidi yang harus dikeluarkan mencapai  Rp. 300 triliun. Tahun ini  diperkirakan meningkat menyusul pertumbuhan kendaraan bermotor yang cenderung tak terkendali. Oleh karena itu, pemerintah pusat saat ini mengambil kebijakan berupa pembatasan untuk pengendalian subsidi BBM. Kementerian Keuangan secara khusus memminta bantuan  Pemprov DKI untuk menjaga kuota BBM bersubsidi, jika kedepan pemerintah pusat memperluas pembatasan BBM diluar kendaraan dinas.


Dari perkembangan yang ada, transfer ke daerah dari  tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Sebagai contoh, tahun 2006 transfer ke daerah baru menyampai Rp. 226 teriliun tapi pada tahun 2012 sudah mencapai Rp. 526 teriliun. Dalam hal ini, SILPA  mengalami kenaikan sejalan dengan kenaikan transfer ke daerah. Artinya, yang ditransfer sebagian tidak bias dieksekusi karena program dan   kegiatan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu. Pemerintah pusat meminta pusat meminta pemerintah daerah untuk dapat melaksanakan program dan kegiatan  sebagaimana  yang telah direncanakan. Pemerintah DKI Jakarta tidak memperoleh DAU  yang besar, karena memiliki potensi daerah yang sangat besar, seperti pajak dan retribusi. Karena, DAU lebih diarahkan kepada daerah daerah dalam rangka pemerataan  fiskal. DBH DKI cukup besar karena DKI memiliki sumber-sumber pendapatan yang biasa dibagihasilkan. Sementara itu, Dana Dekon/TP tahun 2013 yang akan disalurkan kepada provinsi  jumlahnya mencapai Rp. 480 Triliun. Dana Dekon/TP harus dilakukan koordinasi dengan Kementerian/ Lembaga  (K/L), karena memang meskipun dana tersebut berada di K/L  namun pengunaannya menjadi wewenang provinsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kita bandingkan belanja pegawai terhadap total nasional maupun  DKI Jakarta. Rata-rata belanja daerah sebesar 42,3% di tingkat nasional jatuh kepada belanja pegawai. Kondisi ini jelas kurang proporsional, karena dana tersebut seharusnya tidak untuk belanja pegawai, melainkan untuk memperbaiki infrastuktur. Provinsi DKI Jakarta, porsi belanja adalah 33% atau lebih rendah dari rata- rata nasional. Sementara itu, belanja modal DKI adalah sebesar 32,4% atau lebih tinggi dari belanja modal rata-rata nasional, yakni pada posisi 22%. Harus diakui, secara nasional, daerah masih mengandalkan transfer dari pusat, yakni hampir  74,8% pendapatan daerah berasal dari  dana transfer pusat. SILPA  yang dimiliki DKI  Jakarta sangat besar mencapai lebih dari Rp 10 triliun. Diharapkan, pemerintah daerah dapat mempergunakan SILPA tersebut untuk pembangunan infrastruktur di wilaya DKI Jakarta. Sementara itu, terkait dengan pengelolaan keuangan, pemerintah Propinsi DKI Jakarta saat ini sudah mendapatkan opini Wajar Tanpa pengecualian  (WTP) dari  BPK. Prestasi tersebut menandakan bahwa  Pemprov DKI Jakarta sungguh-sungguh dalam memperbaiki pengelolaan keuangannya yang lebih transparan dan akutabel. Dengan mengusung  tema Jakarta Baru, diharapkan  Pemprov DKI dan seluruh  masyarakat  DKI dapat bekerjasama untuk mewujudkan Jakarta yang beriman.  Sebagai minatur Indonesia, Jakarta dituntut untuk terus berbenah  mempercantik diri.***(Keuda-Kemendagri
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya