» » Proses Industrialisasi Gagal,Rakyat Indonesia Miskin

Proses Industrialisasi Gagal,Rakyat Indonesia Miskin

Penulis By on Rabu, 09 Oktober 2013 | No comments

LKBKalimantan.com----Rakyat Indonesia miskin karena proses industrialisasi gagal. Indonesia mengekspor barang mentah dan mengimpor barang jadi. Akhirnya, rakyat menjadi konsumen modernisasi bukan produsen moderenisasi.

Kita perlu merancang dan mengawal industrialisasi sesuai amanat konstitusi. Cita-cita kita merdeka sangat sederhana. Cukup sandang dan pangan, tapi itu saja tak tercapai. kata Ketua Panja DPR untuk RUU Perindustrian, Hendrawan Supratikno, bersama peneliti LPEM UI, I Kadek Sutisna dan YKLI, Tulus Abadi,dalam Forum Legislasi bertema RUU Perindustrian, di gedung DPR, Jakarta, Selasa (8/10).

Dia mengungkit pasal 33 UUD 1945 yang ayat 5 mengandung perintah membuat UU perekonomian nasional. Tapi sejauh ini pembahasannya berlarut-larut dan UU belum berjalan. Draft masih kasar dan respons akademisi tak menggembirakan. Begitu pula Rancangan Undang-undang (RUU) Perindustrian untuk menggantikan UU 51984 tentang Perindustrian.

Anggota DPR harus semangat, cukup kesehatan dan tidak loyo. Kalau loyo, hasilnya nanti sontoloyo, tegasnya menyemangati diri dan rekan-rekannya.

Dalam naskah RUU Perindustrian tersebut ada upaya pemerintah untuk menonjolkan nasionalisme ekonomi. Karena ada pasal-pasal yang mengatur bahwa domestik bahan mentah tidak bisa diekspor sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi. Ada komitmen memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Ada upaya serius bagaimana mewujudkan proses hilirisasi industri untuk memperluas jangkauan standarisasi. Intinya, melarang ekspor barang mentah, jadi bahan mentah itu diolah dulu menjadi bahan matang agar bernilai lebih,” tuturnya.

Menurut Hendrawan, perlu budaya industri yang tangguh agar muncul sikap disiplin dan konsisten. Di Jepang, satu perusahaan tumbuh dan berkembang menjadi besar, maka perusahaan kecil akan tepuk tangan. “Berbeda dengan Indonesia, jika ada perusahaan tumbuh besar, maka perusahaan kecil kalau perlu dihisap sampai kering,” keluhnya.

Tapi ada pasal-pasal yang masih harus dicermati. Contohnya, perusahaan atau industri baru wajib berlokasi di kawasan industri. Artinya, fasilitas harus memadai, karena jika tidak maka hanya menambah ongkos.

Hendrawan Supratikno berharap RUU ini bisa selesai sebelum terpilihnya DPR yang baru 2014. “Kita berharap selesai akhir September 2014,” ucapnya. Yang paling penting, kata Guru Besar FEUI ini, RUU ini harus berjalan sesuai dengan konstitusi, yakni cita-cita mensejahterakan rakyat.

Menurut I Kadek Sutisna RUU Perindustrian dinilai belum berpihak pada industri kecil (UMKM), terutama dalam masalah pembiayaan, karena tidak mendorong industri perbankan untuk menjadi sumber pembiayaan. Dalam RUU ini belum terlihat upaya pemerintah mengembangkan pembiayaan, khususnya dari sektor perbankan nasional untuk mendukung industri lokal,” katanya.

Malah dalam RUU ini, kata Kadek, lebih banyak dan masih menekankan pada sumber pembiayaan pemerintah. “Apalagi semua UMKM di Indonesia itu, tidak peduli pada tingkat suku bunga. Mestinya, hal ini harus menjadi fokus dalam pembiayaan industri nasional,” terangnya.

Diakui Kadek, sektor industri menjadi salah satu motor penggerak perekonomian negara. Sekitar 29% PDB nasional disumbang dari industri. Namun dari survey LPEM UI, ternyata sejumlah industri padat karya, seperti furniture, alas kaki, dan tekstil justru mengeluhkan soal upah.  “Ini menjadi hambatan daya saing,” tegasnya.  

Padahal dalam semangat RUU Perindustrian ini, lanjutnya, ada dua semangatnya, yakni menciptakan daya saing dan menciptakan nilai tambah. Sayangnya, semua tujuan itu sulit tercapai. Karena industri lokal harus menempuh prosedur panjang untuk ekspor. “Survei LPEM pada 2006, menunjukkan untuk melakukan ekspor perlu melewati  19 institusi,” ujarnya.

Tulus Abadi sepakat bahwa ending produk RUU Perindustrian itu memang harus memiliki ideologi. Masalahnya, saat ini fenomena yang terjadi adalah deindustrialiasasi.

“Nah, bisa tidak RUU marwahnya mengembalikan denyut industrialisasi,” tukasnya.

Menurut Tulus, harus dijelaskan dalam RUU ini, mana produk-produk industri yang ramah lingkungan. Sementara pihak industri harus bisa menjawab tantangan ini.

Oleh karena itu, kata Tulus, jangan sampai ada pasal-pasal selundupan dalam  RUU ini.  “Yang juga perlu diperhatikan soal nilai tambah, makanya saya sepakat memasukkan adanya green industri,  mulai dari energi hingga produk-produknya,” cetusnya.***(as/foto :wahyu/parle/hr).
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya