JAKARTA(LKBK)-Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (28/11). Kali ini Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) tercatat sebagai pemohon perkara dengan Nomor 96/PUU-XI/2013 tersebut.
Dalam permohonannya, Pemohon yang diwakili kuasa hukumnya, Ibrahim Sumantri menjelaskan Pemohon merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 59 ayat (7), Pasal 65 ayat (8) dan Pasal 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan. Pasal 59 ayat (7) menyebutkan “Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu”. Sementara itu, Pasal 65 ayat (8) menyatakan “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan”. Sedangkan Pasal 66 ayat (4) menyatakan “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan”.
Menurut Ibrahim, dalam pendapat Mahkamah dalam Putusan Perkara Nomor 27/PUUIX/2011 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 59 bukanlah persoalan konstitusionalitas melainkan hanya persoalan implementasi, namun pada kenyataannya persoalan implementasi Pasal 59 ayat (7) UU a quo menjadi persoalan konstitusionalitas karena penegakan norma dilakukan tidak sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku. “UU Ketenagakerjaan tidak diberikan penafsiran yang pasti oleh pembentuk Undang-Undang sehingga penerapan Pasal 59 ayat (7) Undang-Undang a quo menjadi multi tafsir baik pemerintah, pengusaha, pekerja/buruh,” jelasnya.
Sedangkan, dalam Pasal 65 ayat (8) UU tersebut, justru memberikan ketidakjelasan pada saat implementasi karena adanya penafsiran yang berbeda-beda. “Antara lain mengenai jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan dan lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma a quo,” urainya.
Sementara itu, implementasi Pasal 66 ayat (4) UU tersebut bersifat multitafsir dari para stake holder bidang hubungan industrial di Indonesia, yaitu terkait dengan jenis-jenis pekerjaan yang dapat diserahkan melalui perusahaan pemborongan, lembaga mana yang berwenang untuk menentukan terpenuhi atau tidaknya norma a quo, dan mekanisme penegakan norma hukum apabila tidak terpenuhi syarat-syarat berkaitan dengan jenis pekerjaan yang diserahkan melalui Perusahaan Penyedia Jasa Tenaga Kerja (PPJTK) dan legalitas syarat badan hukum PPJTK tersebut. “Untuk itulah, Pemohon meminta agar Majelis Hakim membatalkan ketiga pasal tersebut,” ujarnya.
Majelis Hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dengan didampingi oleh Wakil Ketua MK Arief Hidayat dan Hakim Konstitusi Anwar Usman memberikan saran perbaikan bagi pemohon. Patrialis menjelaskan bahwa Pemohon mempersoalkan mengenai masalah implementasi dan hal itu bukanlah kewenangan MK. “Dalam permohonan pemohon belum kelihatan hal yang bersifat spesifik. Pemohon lebih banyak berbicara implementasi norma karena bukan menjadi kewenangan MK,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)