» » » » Cintai dan Terimalah Rakyat Apa Adanya

Cintai dan Terimalah Rakyat Apa Adanya

Penulis By on Selasa, 06 Mei 2014 | No comments

Oleh : Dr.H.Susilo Bambang Yudhoyono


Kehidupan itu memang unik. Demikian pula kehidupan masyarakat kita Jika kelak Anda menjadi presiden Anda akan segera merasakan keunikan kehidupan yang saya maksud ini.

Selama saya memangku jabatan dan menjalankan tugas sebagai presiden, saya sungguh merasakan bunganya kehidupan yang berwarna-warni. Kehidupan yang tak mudah saya lupakan. Terhadap apa yang saya lakukan dalam mengemban tugas negara tersebut, ada kalangan masyarakat yang tidak suka, bahkan sangat tidak suka. Apa pun yang saya lakukan dianggap salah dan jelek Sebaliknya ada kalangan yang suka dan sangat suka kepada saya. Mereka adalah benteng dan pembela saya dalam banyak hal. Bahkan, ada yang tergolong die hard untuk saya. Sementara itu, ada kalangan yang saya sebut biasa-biasa saja. Tidak tampak suka, tetapi juga tidak menyiratkan kebencian.

Kalau kita potret atau rekam sikap dan perilaku masyarakat kita dalam memandang pemimpinnya juga amat beragam. Macam-macam. Ada kalangan yang ekspresif dan hangat. Pasti kalau Anda dibegitukan Anda akan merasa bahagia sekali. Hilang sudah rasanya penderitaan dan stres Anda dalam menghadapi berbagai persoalan yang sering amat kompleks dan berat. Namun, ada pula yang apatis dan dingin-dingin saja. Anda akan bertanya dalam hati apakah mereka bisa menerima kepemimpinan Anda atau tidak. Sementara itu, pada saatnya Anda juga akan tahu, mana-mana yang bersikap baik dan ramah itu memang berangkat dari hatinya, dan mana-mana yang berbuat demikian itu karena memang menjadi kewajibannya untuk menghormati pemimpinnya.

Suatu hari, ketika kami sedang melakukan kunjungan kerja ke daerah, saya berbincang dengan para staf dan para pembantu saya. seperti biasanya, dalam kesempatan seperti itu saya lebih memilih untuk mendengar apa saja yang ada dalam pikiran mereka. Mungkin juga di hati mereka.

"Pak Presiden, mendengar berbagai komentar miring terhadap Bapak kami ini sering sakit hati. Terutama kalau apa yang Bapak lakukan dianggap pencitraan. Saya tidak tega betapa Pak SBY bekerja seperti ini, tak kenal lelah, selama bertahun-tahun kok dianggap hanya pencitraan," komentar awal mereka.

Saya hanya mengangguk. Tanda bahwa saya juga setuju.

"Satu yang kami semua, para pembantu Bapak berani menjadi saksi adalah spontanitas dan sambutan dari rakyat yang luar biasa setiap Bapak berkunjung ke daerah. Mosok begini dianggap rekayasa. Mereka tulus Pak." lanjut mereka.

Saya masih diam.

"Memang, ada juga yang munafik, Pak".

Mendengar itu saya harus merespons.

"Apa yang Anda maksudkan. Jangan asal tuduh. Enggak baik," respons saya.

"Ada Pak. Saya tahu mereka-mereka itu. Di depan Pak SBY baiknya luar biasa, tetapi di belakang Bapak sering menjelek-jelekkan. Namanya ya... munafik," ucap mereka mantap.

Mereka memang tidak menyebutkan siapa-siapa orang yang dimaksud itu. Saya pun tidak memintanya. Bahkan, saya kurang senang jika ada orang yang mudah menyampaikan nama-nama yang dianggap jelek. Bisa-bisa malah menjadi fitnah. Sesuatu yang sangat saya benci.

Ada juga yang akhirnya harus berkomentar tentang pers atau waartawan yang sering menyertai saya dalam setiap kunjungan kerja saya, baik di dalam maupun di luar negeri. Barangkali mereka tidak tahan.

"Pak, mereka ternyata tidak baik. Di depan Bapak ketawa-ketawa. Sikapnya manis sekali. Tetapi kalau menghantam enggak tanggung-tanggung," ucap mereka.

"Menghantamnya di mana?" tanya saya.

"Ya, di medianya masing-masing," jawab mereka.

"Belum tentu itu kesalahan mereka. Mungkin kebijakan pimpinannya begitu," saya masih membela para wartawan Istana itu.

Lain lagi komentar terhadap seseorang yang menarik perhatian para ADC dan staf saya. Dari periode ke periode. Malah ada semacam serah terima di antara mereka terhadap sosok ini. Suatu hari mereka tidak tahan dan harus bertanya kepada saya.

"Bapak, tidakkah Pak A itu rekan Bapak sewaktu di Akademi Militer," tanya mereka.

"Benar," jawab saya sambil tersenyum. Saya sudah tahu ke mana arahnya ketika mereka menyebut nama orang itu.

"Sepertinya yang Bapak lakukan salah semua. Pemerintah jelek benar di mata bapak itu. Maaf kami suka tidak terima jika Bapak dianggap tidak tahu apa-apa. Malahan sering menakut-nakuti," komentar mereka.

"Kan tipe manusia itu bermacam-macam," jawab saya lagi.

"Betul Pak. Kami kan baca semua SMS sebelum kami laporkan ke Bapak Presiden. Tidak sedikit yang kritis terhadap Bapak. Tetapi, yang satu ini sangat keterlaluan. Tidak tahu apa yang Bapak lakukan, tetapi terus menyalahkan. Menggurui sekali. Aneh. Apa tidak bisa mawas diri..."

"Sudah. Sudah cukup. Sebenarnya pandangan dan pikiran yang bersangkutan ada pula yang baik." potong saya.

Kembali kepada topik yang tengah kita bahas ini mungkin Anda akan bertanya kepada saya ~ bagaimana menghadapi seribu corak dan karakter masyarakat seperti itu? Atau, apa resep yang paling tepat?

Saya tidak tahu resepnya. Karena tidak tahu sikap terbaik untuk menghadapi keadaan yang unik seperti itu, maka saya memilih untuk menerima mereka semua apa adanya. Menyayangi mereka tanpa pandang bulu.

Sebagian dari Anda pasti ingat ada lirik lagu yang saya pikir ada kaitannya dengan yang kita bicarakan ini. Lagu itu berjudul Munajat Cinta. Begini penggalan liriknya:

Tuhan kirimkanlah aku
Kekasih yang baik hati
Yang mencintai aku
Apa adanya...

Kalau dalam lagu di atas kata kekasih, diganti pemimpin, atau presiden, maka kena dengan apa yang sedang kita bicarakan ini. Artinya, sekali lagi, pemimpin harus mencintai rakyat apa adanya. Dengan segala macam sikap dan perilaku tadi.

Tabiat dan perilaku manusia memang bermacam-macam. Begitulah hakikat kehidupan. Saya bukan ahli psikologi. Tetapi, dari interaksi saya dengan jutaan saudara-saudara kita di seluruh tanah air, saya bisa belajar banyak. Pengalaman dan perjalanan panjang saya dalam memimpin dan bergaul dengan manusia, mulai dari yang hanya berjumlah puluhan, kemudian meningkat ke ratusan, ribuan, dan kini jutaan, memaksa untuk mengenali berbagai karakter dan perilaku saya manusia.

Sekadar menunjuk contoh, saya akan berbagi beberapa dengan Anda semua.

Ada seorang tokoh yang saya kenal sejak lama. Dia punya bawaan yang pesimis dan selalu menyalahkan. Ketika saya pertama kali bertemu di Yogyakarta tahun 1995, dia mengungkapkan bahwa negara kita di pinggir jurang kehancuran. Tahun 1998, kalimat seperti itu diulangi lagi, bahkan negara makin gelap dan akan runtuh. Kalau tahun itu, puncak krisis yang kita alami, saya bisa mengerti. Tetapi, awal tahun 2000-an yang bersangkutan juga mengatakan hal yang sama, bahkan ditambahkan negara ini salah arah. Sampai sekarang nyanyian itu masih terdengar dengan 'merdunya'. Gelap, salah arah, gagal. Salah urus, tidak ada harapan, dan sebentar lagi masuk jurang. Apa yang terjadi? Negara kita dengan segala tantangan dan permasalahan yang dihadapi masih tetap tegak berdiri. Selamat. Tidak bubar. Tidak masuk jurang. Nah, siapa yang salah. Negara ini, kita semua, atau sang cendekiawan-politisi itu. Saya juga harus mengatakan: "Penglihatan dan prediksi Anda salah. Maaf."

Ada juga tokoh, lebih dari satu, yang memiliki kebahagiaan untuk menentang dan melawan siapapun yang sedang memimpin negeri ini. Tentu beserta pemerintahan yang dibentuknya. Semuanya salah, dan harus dilawan. Ketika saya berbincang-bincang santai dengan teman-teman, dan tengah membahas perilaku tokoh itu, nyeletuklah salah satu sahabat saya.

"Dia akan berhenti bertingkah laku dan berkata sengit seperti itu, jika dia sendiri yang jadi presiden. Cuma, Tuhan tidak kasih. Mengapa Tuhan tidak kasih, ya hanya Tuhan sendiri yang tahu."

Ada lagi yang kegemarannya mengabarkan berita yang seram-seram. Menakut-nakuti. Sekali-sekali juga mengancam. Di mata sosok-sosok seperti itu yang saya lakukan salah semua. Harusnya begini, harusnya begitu. Jangan begini, jangan begitu. Mereka menganggap saya tidak tahu apa-apa. Anak kemarin sore. Tidak tahu politik. Mau dibodoh-bodohi. Ditipu. Dipermainkan. Dan, katanya saya akan segera jatuh. Saya telah mendengar berita yang seram-seram itu sejak awal mengemban tugas sembilan tahun yang lalu.

Sebenarnya dari tipologi manusia seperti itu, yang paling banyak adalah golongan yang mudah mengkritik dan menyalahkan. Ada saja yang dikritik. Seperti tidak habis-habisnya. Contoh yang tergolong mutakhir sebelum buku ini diterbitkan adalah sejumlah komentar menyusul ditahannya Ketua MK Akil Mochtar, karena yang bersangkutan diduga menerima suap dari pihak-pihak yang tengah diperkarakan di mahkamah itu. Komentar dan bahkan kalimat tidak sedap ini muncul setelah mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengeluarkan pernyataan sebaiknya koruptor, mungkin yang dimaksudkan termasuk Ketua MK Akil Mochtar tersebut, dihukum mati saja. SMS yang ditujukan kepada saya kurang lebihnya seperti ini:

"Saya setuju agar para koruptor itu dihukum mati. Presiden harus tegas, dan harus berani memerintahkan koruptor tersebut dihukum mati. Jangan ragu-ragu. Jangan lambat untuk menjatuhkan hukuman mati," begitu kalimatnya yang bernada ketus.

Tentu saja saya harus tetap sabar menerima pesan SMS seperti itu. Saya harus menjelaskan lagi bahwa yang memutus seseorang termasuk koruptor, dihukum mati atau tidak adalah majelis hakim. Bukan presiden. Presiden tidak bisa memerintahkan pengadilan, atau majelis hakim untuk menjatuhkan hukuman apa pun. Apakah berat, sedang ataupun ringan. Termasuk hukuman mati. Tentang koruptor dihukum seberat-beratnya, saya sangat setuju. 100 persen setuju. Tetapi, sebagai presiden saya tidak bisa obral pernyataan 'hukum mati saja'. Apalagi secara resmi saya meminta hakim untuk menghukum mati koruptor itu. Tidak. Saya tidak akan ikut-ikutan dan latah mengatakan 'hukum mati saja'. Saya tidak berminat menimba popularitas dan keuntungan politik dengan cara sedikit-sedikit mengatakan seseorang untuk dihukum mati. Biar dianggap sebagai orang yang tegas dan berani. Saya berpendapat dengan menyerahkan segala sesuatunya kepada putusan pengadilan ~ sambil melakukan pengawasan dan pemantauan ~ justru saya menghormati hukum dan keadilan. Harapan saya para hakim jangan bermain-main dengan kebenaran dan keadilan.

Kalau sudah mengetahui begitulah peta dan anatomi memang kehidupan masyarakat kita, maka Anda tidak perlu berkecil hati jika tidak disukai oleh kalangan tertentu. Itu sungguh biasa dalam dunia politik. Sebaliknya, jangan Anda sudah segalanya jika menerima merasa dukungan dan pujian dari kalangan masyarakat yang lain. Lantas mudah tersanjung dan 'GR'. Hidup itu selalu ada timbangannya. Yang paling baik begitu cara melihatnya.

Kalau saya mau buka kartu salah satu rahasia mengapa menghadapi berbagai kritik, kecaman dan hujatan selama ini saya tetap sabar dan kuat, ya dengan menjalani sikap demikian itu. Kalau ada sebuah kelompok atau perseorangan yang tidak suka dengan saya biasanya masyarakat yang lain akan segera tahu. Mengapa? Karena mereka lantang berbicara, dan kemudian pers memberitakannya secara luas. Sebaliknya, sikap dari mereka yang menyukai dan mendukung saya lebih hemat bicara, sehingga luput dari pengetahuan masyarakat. Tapi, dari sinar matanya dan dari pesan-pesan yang sering disampaikan ke saya melalui SMS maupun media sosial, saya bisa merasakan kecintaan dan dukungan itu.

Ya terus terang dalam kehidupan politik yang panas dan keras saya harus bisa menemukan sendiri cara dan jalan yang harus saya tempuh. Meskipun sepertinya remeh dan sederhana, sikap seperti itulah yang membuat saya tetap bisa bertahan selama ini. ***


*) Dikutip dari: Susilo Bambang Yudhoyono, 2014, Selalu Ada Pilihan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, halaman 514 - 519.
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya