KETAPANG(LKBK)-Upaya Pemkab Ketapang untuk mengembangkan program ketahanan pangan dan diversifikasi bahan pokok untuk kebutuhan masyarakat seperti gayung bersambut,semua pihak mendukung,seperti rencana Mayora Group akan investasi perkebunan ubi kayu di Ketapang Kalimantan Barat kini telah terealisasi,saat ini sedang dilakukan kegiatan-kegiatan pengolahan lahan yang ada di Kecamatan Nanga Tayap seluas 2000 hektar,dan bahkan bukan hanya Mayora saja tetapi masih ada perusahaan-perusahaan lain yang tertarik investasi mengembangkan perkebunan ubi kayu ini secara besar-besaran di Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat.
Hal itu diungkapkan Plt.Sekretaris Daerah Ketapang Drs.H.Mahyudin,M.Si,ketika disambangi Lembaga Kantor Berita Kalimantan di ruang kerjanya,Senin (02/11/2013) kemarin.
Sementara itu,agar program tersebut berjalan dengan lancar Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Ketapang juga telah memberikan sertifikat gratis untuk lahan di Nanga Tayap. "Lahannya akan ditanami singkong. Mayora akan membangun pabrik tapioka yang akan menampung singkong para petani," Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Ketapang,Halim Nasution menjelaskan.
Lahan seluas 2000 hektar disiapkan. Sementara Mayora memastikan akan membeli seluruh hasil panen singkong yang dihasilkan petani.
Keberanian Mayora membangun pabrik di Ketapang tak lepas dari kepastian akan pasokan bahan baku. Dan ketersediaan bahan baku singkong. Tak lepas dari semangat para petani yang menanam singkong di lahan mereka yang sudah bersertifikat. "Sama seperti petani padi, petani yang menanam singkong juga merasa mendapat kepastian hukum atas kepemilikan tanahnya. Sehingga mereka sangat bersemangat menanam lahan mereka dengan singkong,"
Petani tak usah cemas singkong mereka tidak akan tertampung. Pasalnya Mayora adalah perusahaan makanan yang jaringan pasarnya sudah ytersebar di 80 negara. Produk-produknya sudah sangat dikenal masyarakat dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Yang sangat menjanjikan adalah, Mayora akan membeli singkong-singkong dari petani dengan harga Rp400 per kilogram. "Beda dengan sawit yang harganya ditentukan oleh pasar. Jika hasil melimpah maka harga sawit akan turun. Untuk singkong tidak demikian," Halim menjelaskan.
Keuntungan besar sudah menghadang para petani. Satu pohon singkong akan menghasilkan puluhan kilo singkong. Nah, bisa dibayangkan hasil yang akan diperoleh petani jika dia memiliki minimal 2 hektar lahan. "Tak heran, jika kedepannya pengusaha sawit akan beralih menanam singkong," ujar Halim sembari tersenyum.
Yang lebih menggiurkan, jika pemilik lahan bekerja sama dengan perusahaan untuk menanam sawit, ujung-ujungnya si petani hanya memperoleh 20 persen dari total sawit yang dihasilkan. Sisanya yang 80 persen justeru akan dikuasai oleh perusahaan. Ini berarti, nasib petani tak akan berubah. Beda kerjasama antara pengusaha dengan petani singkong, seluruh hasil panen singkong murni menjadi milik petani. Meski segala persiapan untuk penanaman singkong dibantu oleh perusahaan swasta dalam hal ini Mayora.
Program singkong, papar Halim, harus melalui tiga tahapan, pertama sosialisasi dengan masyarakat, yang kedua sertifikasi dan sekarang dalam proses ini,pengukuran sudah berjalan dan akhir Oktober diharapkan atau pertengahan November sudah selesai dan yang ketiga para penggarap akan masuk dalam tahap land clearing.
Proses land clearing juga akan dibantu Mayora, akan ada traktor untuk memotong pohon-pohon besar dan mencabut akarnya. Untuk kebun singkong harus benar-benar bersih. Proses land clearing nya lebih berat tetapi hasilnya akan sangat menjanjikan.
"Program ini juga mendukung program ketahanan pangan dan diversifikasi bahan pokok. Dan memang terkait ketahanan pangan ini agar lahan yang ada tidak dikonversi. Dengan begitu BPN menjadi lembaga yang bisa mengerem dan mengontrol pengalihan fungsi lahan yang ada," ujar Halim.***(lkbk/Julie Indahrini)