» » » » Food Estate Ketapang Mendukung Surplus 10 Juta Ton Beras

Food Estate Ketapang Mendukung Surplus 10 Juta Ton Beras

Penulis By on Minggu, 08 September 2013 | No comments

Oleh  Desk Informasi

"Pembangunan Food Estate Ketapang merupakan terobosan pemerintah dalam upaya mewujudkan surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014. Pengembangan Food Esatet Ketapang ditargetkan menjangkau 100 ribu hektar dengan dana Rp 5 triliun dan diharapkan bisa menyumbang 1,5 juta ton padi per tahun. "

Food Estate Ketapang merupakan pilot project pengembangan pertanian dengan teknologi modern yang dikelola oleh Kementerian BUMN. Pengembangan Food estate ini dikelola terpadu oleh BUMN-BUMN yang membidangi pangan, bibit, pupuk dan infrastruktur pertanian. Pengembangan Food Estate Ketapang dilakukan melalui kerja sama antara Kementerian BUMN dengan para petani di Ketapang sebagai pemilik lahan. Sinergi antara Kementerian BUMN dengan para petani ditujukan agar pengolahan lahan pertanian dilakukan secara modern, serta para petani menjadi pihak pertama yang merasakan manfaatnya.
Penerapan teknologi modern tersebut dilakukan mulai dari penggunaan bibit unggul, penerapan pupuk yang berimbang hingga penggunaan alat-alat pertanian mesin seperti mesin penanam, traktor penggembur tanah, dan mesin panen, sehingga proses penanaman dan panen bisa dilakukan lebih cepat dan menjangkau lahan yang lebih luas.

Pembangunan Food Estate Ketapang dikoordinir oleh PT Sang Hyang Seri (BUMN Pertanian) yang didukung dengan 12 BUMN lainnya yang tergabung dalam Sinergi BUMN Peduli. Ke-12 BUMN tersebut diberi tugas masing-masing sesuai dengan keahlian dan kapasitasnya. Di bidang teknologi, pengembangannya dipercayakan kepada  PT Batantekno dan PT Pupuk Indonesia, sementara untuk pembersihan dan penyiapan lahan pertanian dipercayakan kepada PT Hutama Karya dan PT Brantas Abipraya. Adapun untuk konsultan perencanaan dan pengawasan dipercayakan kepada PT Indra Karya dan PT Yodya Karya. Selama ini, BUMN karya itu dikenal ahli dalam merencanakan dan membuat infrastruktur jalan, pengairan serta pengolahan lahan pertanian. PT Brantas Abipraya misalnya sudah berpengalaman membuka sawah baru meski kecil-kecilan yakni kelas 1.000 Ha, sementara PT Indra Karya pernah membuat perencanaan pembukaan sawah seluas 16.000 ha di Papua Nugini.Selebihnya, untuk pendanaan diperoleh dari Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, PGN, Pertamina dan PT Indonesia Port Corporation (IPC).

Pemilihan Ketapang sebagai pilot project pengembangan Food Estate  dikarenakan memiliki potensi lahan pertanian yang luas mencapai 890 ribu Ha, namun yang dimanfaatkan untuk lahan pertanian hanya 260 ribu Ha atau 29,2% saja. Ini artinya terdapat potensi lahan pertanian seluas 730 ribu hektar yang bisa didayagunakan dan dikembangkan untuk Food Estate.

Mayoritas lahan pertanian di Ketapang selama ini praktis menganggur, tidak produktif, hanya ditumbuhi ilalang, sehingga sangat disayangkan karena tidak didayagunakan secara maksimal. Para petani hanya menanam semampunya, karena keterbatasan modal dan biaya untuk mengolah lahan pertanian yang lebih luas. Itulah sebabnya, proyek pengembangan Food Estate Ketapang juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus, karena petani bisa mengelola lahan pertanian lebih luas, sekaligus mengurangi angka pengangguran di Ketapang khususnya dan Kalimantan Barat pada umumnya.

Pengembangan Food Estate Ketapang ditargetkan menjangkau 100 ribu Ha, di mana saat ini yang sudah dibuka mencapai 3.000 Ha dengan menelan dana Rp 135 miliar, serta seluas 100 hektar telah panen perdana pada April 2013. Hingga tahun 2012,  pengembangan Food Estate Ketapang telah menyerap 30.000 tenaga kerja yang merupakan warga setempat dan tenaga ahli dari Pulau Jawa. Penyerapan tenaga kerja tersebut mulai dari pembukaan lahan pertanian, pembangunan jalan usaha tani sepanjang 38,60 km, peningkatan jalan produksi  menjadi rabat beton  sebagai akses perhubungan di kawasan Food Estate Ketapang, serta pembangunan jaringan irigasi.

Sejalan dengan pembukaan lahan pertanian, para petani juga diberikan penyuluhan dan pelatihan agar siap menggunakan teknologi modern. Sebanyak  36 Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) di 36 desa, telah diberi penyuluhan dan pelatihan tentang penerapan teknologi modern pertanian. Dengan menggunakan teknologi modern tersebut, target produksi padi minimal 5 tonHa dimana sebelumnya hanya berkisar 2,5 - 3 tonHa, atau meningkat dua kali lipat. Masa panen juga meningkat dari sebelumnya 1-2 kali panen per tahun, menjadi 3 kali panen, sehingga satu hektar sawah ditargetkan menghasilkan 15 ton per tahun. Dengan demikian, pembukaan lahan seluas 100 hektar ini diharapkan bisa menyumbang 1,5 juta ton padi per tahun.

Berdasarkan penelusuran di lapangan, target produksiminimal 5 ton per hektar ini terwujud pada panen perdana di lahan Food Estate seluas 300 hektar di Kecamatan Delta Pawan yang sudah panen pada April 2013. Lahan seluas 300 hektar tersebut salah satunya berlokasi di Desa Pelang seluas 5 hektar yang dipanen dengan melibatkan 50 buruh tani dan menghasilkan sekitar 1.500 ton. Hasil tersebut sebenarnya bisa lebih tinggi, mengingat sebagian lahan tersebut diserang hama. Proses panen terpaksa dilakukan manual, karena mesin pemanen tidak bisa beroperasi secara maksimal. Hal ini disebabkan hujan turun dan menyebabkan lahan begitu gembur sehingga mesin tidak bisa berjalan karena terperosok di tanah basah.

Sistem bagi hasil dilakukan dengan cara sebanyak 3 ton untuk BUMN dan 2 ton untuk petani. Hasil tersebut bersih diterima petani, karena tidak mengeluarkan biaya produksi, semuanya ditanggung oleh BUMN. Dengan hasil 2 ton tersebut, petani mendapat  penghasilan bersih minimal Rp 6,6 juta per panen per hektar, mengingat harga jual padi Rp 3.300kg. Dari sisi pemasaran, para petani juga dimudahkan karena hasil panen dijual kepada Bulog dengan HPP (harga pembelian petani) yang ditetapkan pemerintah yakni Rp 3.300kg. Penghasilan petani bisa lebih tinggi, jika hasil panen lebih dari 5 ton, karena kelebihannya menjadi hak petani.

Pengembangan Food Estate Ketapang di Kecamatan Delta Pawan melibatkan 987 rumah tangga tani (RTT), di mana  lahan mereka telah disertifikasi dengan dana dari BUMN. Dengan adanya sertifikasi ini para petani bisa menjalin kerja sama penggunaan lahan hingga 20 tahun. Petani sebagai pemilik lahan bersedia digunakan lahannya selama 20 tahun dengan menyerahkan fotocopy sertifikat tanah yang dilegalisir kepala desa setempat sebagai pendukung jaminan kerjasama. Dengan demikian, petani tidak boleh mengalihfungsikan lahan selama jangka waktu perjanjian. Sedangkan PT SHS sebagai pengelola food estate melakukan cetak sawah, membangun infrastruktur irigasi dan jalan produksi, memfasilitasi penyediaanpinjaman modal kerja biaya usaha tani, serta menerapkan teknologi budidaya, pengawalan, bimbingan dan pelatihan pertanian modern kepada Gapoktan yang ada di desa lokasi food estate.

Kecamatan Delta Pawan merupakan wilayah pertama yang ditanami padi pada Desember 2012 dan panen April 2013, sehingga proses penanaman hingga panen hanya membutuhkan waktu 4 bulan. Secara bertahap, penanaman ini akan mencapai 3.000 Ha dan pada akhir tahun 2013 ditargetkan mencapai 40.000 Ha, serta akhir tahun 2014 ditargetkan mencapai 100.000 ha. Untuk menyukseskan program Food Estate Ketapang ini, BUMN akan mengusahakan dana sampai Rp 5 triliun.

Proses pembibitan dalam penanaman perdana ini  tidak lagi di tanah sawah, melainkan bibitnya dibenihkan di baki-baki siap saji. Ketika berumur 15 hari, bibit itu sudah bisa dilepas dari bakinya untuk dimasukkan ke mesin tanam. Dalam waktu singkat, bibit sudah tertanam sekaligus empat-empat dalam barisan yang rapi.
Dalam hal pembibitan, bahkan, dilakukan iradiasi nuklir pada benihnya sehingga hasilnya bisa langsung minimal 5 ton - 6 tonha, kemudian terus dinaikkan ke angka 8 tonha. Untuk pemupukan juga telah menggunakan produk baru pupuk Indonesia yakni Kapurtan, untuk mengendalikan kadar keasaman (ph).

Selain ditanami padi, kawasan Food Estate Ketapang juga ditanami jagung, serta dikembangkan peternakan kambing, bebek, dan ayam. Meskipun demikian, pengembangan peternakan masih dilakukan dengan modal petani sendiri, dan ke depan diharapkan dapat dikembangkan di dengan skala lebih luas sehingga menjadi sumber pendapatan petani sekaligus memenuhi kebutuhan daging nasional.

Dalam rangka mendukung Food Estate, Pemkab Ketapang juga melakukan gerakan bercocok tanam dengan melibatkan muspida TNI dan Polri. Hal ini berpengaruh terhadap kesadaran masyarakat akan pentingnya tanaman pangan sebagai sumber pangan dan penghasilan.

Di samping itu, Pemkab Ketapang juga mendorong perusahaan swasta (perkebunan) dalam hal mengurusi Ijin Usaha Perkebunan (IUP) untuk mengembangkan lahan pertanian dengan minimal seluas 300 Ha untuk pertanian tanaman pangan. Perusahaan swasta juga didorong untuk berinvestasi di bidang pertanian tanaman pangan.

Pembangunan food estate berskala besar, tidak saja akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani, peternak, PKL dan UMKM, tetapi juga terjadi transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian modern. Selain itu adanya food estate ini juga memampukan daerah untuk memenuhi ketersediaan pangan bahkan untuk daerah lainnya. Dari budidaya food estate ini nantinya juga akan diarahkan menjadi kawasan agrowisata daerah yang mudah dan menarik untuk dikunjungi karena terletak tidak jauh dari ibukota kabupaten.

Pengembangan food estate ini juga akan memiliki dampak turunan produk yang dapat meningkatkan penghasilan daerah. Dari budidaya tanaman padi akan dihasilkan produk utama beras dan produk sampingan bekatul, sekam padi, dan jerami. Semua produk sampingan tersebut apabila diproses lanjut masih memiliki kegunaan dan nilai ekonomis yang layak kelola. Tanggul atau galangan tanah dari percetakan sawah yang dibangun bisa dimanfaatkan untuk tanaman hortikultura di antaranya jagung, umbi-umbian, pisang, labu, kacang-kacangan dan lainnya. Sementara saluran atau jaringan irigasi yang dibangun dimanfaatkan untuk budidaya ikan tawar, di antaranya ikan baung, papuyu, gabus, toman, patin, nila, dan lainnya.

Keberadaan food estate memperbesar peluang petani untuk mengembangkan pertanian pangan modern yang lebih baik sebagaimana diungkapkan Salimun (47 tahun), warga Desa Pelang Kecamatan Delta Pawan. Ia mengaku sangat bersyukur dengan adanya program food estate di Ketapang, khususnya menggandeng petani lokal untuk mengembangkan pertanian pangan skala besar. Pihak PT SHS menggunakan lahannya seluas 5 Ha untuk tanaman padi dan bisa dipanen dalam 4 bulan dengan tingkat produksi 5 tonHa. Sebelumnya dengan modal dana dan tenaga yang ia miliki, Salimun hanya bisa mengerjakan 2 Ha lahannya untuk ditanami padi dengan intensitas tanam hanya sekali dalam setahun karena masa tanam yang lama yakni selama 9 bulan dengan produksi padi hanya 1,5 tonHa. "Saya bertani sepanjang tahun namun tidak pernah cukup penghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Adanya food estate ini, kami warga petani di sini menjadi lebih paham cara bertani yang lebih baik dan menghasilkan lebih banyak padi," ujarnya.

Salimun juga ikut bekerja sebagai penanam benih, pemupuk maupun untuk memanen dengan gaji Rp 50 ribu per hari. Menurutnya, kegiatan di food estate selain untuk praktek bertani dengan bekal penyuluhan dan bimbingan dari SHS, ia juga bisa menambah penghasilan. "Mudah-mudahan program serupa food estate ini bisa lancar dan bisa diterapkan di daerah lain karena sangat bermanfaat bagi peningkatan produksi pangan dan juga kesejahteraan petani," ujarnya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Samsul, warga Desa Pelang, yang merasakan  manfaat hadirnya food estate. Ia sangat terbantu dari segi pengetahuan bagaimana mengelola lahan pertanian pangan secara maksimal, mulai dari teknik pembibitan, pemupukan, pengairan, sampai panen. Selama ini petani pasrah dengan panen yang tidak maksimal terutama karena bibit dan hama yang masih kurang bagus penanganannya. Kini setelah mendapat penyuluhan dan ikut bekerja sebagai pengoperasi mesin pembajak dan pengawas pencetakan lahan sawah, ia semakin bersemangat untuk mengerjakan sawahnya sendiri yang kini masih menjadi lahan tidur karena tadinya dianggap tidak akan banyak menghasilkan. Ia bahkan lebih memiliki menjadi pekerja tambang sebelum ikut terlibat dalam pengerjaan food estate di Desa Pelang. "Nanti setelah saya selesai di food estate dan mendapat dana yang cukup sebagai modal usaha, saya akan membuka lahan sawah sendiri. Persoalan peralatan pertanian seperti mesin pembajak, mesin penanam dan pemanen, bisa didapatkan dari Gapoktan karena sudah ada bantuan dari Pemkab Ketapang melalui Dinas Pertanian," ujarnya. Ia berharap program Food Estate Ketapang ini bisa lancar karena pemanfaatan lahan untuk pertanian pangan jauh lebih baik daripada untuk perkebunan kelapa sawit.

Manfaat keberadaan food estate juga dirasakan oleh Aloha (53 tahun), yang bekerja sebagai buruh tani. Ia bersama sekitar 34 perempuan warga setempat bisa bekerja sebagai buruh tani membuat bibit dan menanam padi dengan gaji Rp 50 ribu per hari. Sebelumnya ia bekerja sebagai buruh kebun sawit, namun karena tenaganya sudah berkurang jauh sementara target kerja sangat berat, ia akhirnya berhenti. Di kebun pangan tuntutan kerja tidak terlalu sulit sehingga meskipun sudah lanjut usia, Aloha masih bisa mengerjakannya. Sistem kerja borongan hasil kerja sama Gapoktan dengan SHS juga membantunya menyelesaikan target kerja yang diberikan pengelola.  "Kami berharap adanya food estate ini akan membuat harga beras di Ketapang bisa lebih terjangkau dengan kualitas yang baik," ujarnya.

Secara nasional, dalam rangka mewujudukan surplus 10 juta ton beras per tahun, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah menetapkan kebijakan pencapaian dalam kemandirian pangan selaras dengan peningkatan kesejahteraan petani. Kebijakan itu dilakukan dengan gerakan peningkatan produksi, gerakan penganekaragaman konsumsi pangan, optimalisasi pemanfaatan lahan air, pengembangan kawasan rumah pangan lestari, penerapan teknologi budidaya ramah lingkungan, dan pemberian fasilitas pembiayaan.

Langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam upaya mencapai surplus beras 10 juta ton di tahun 2014 antara lain, peningkatan produktivitas dari 5,1 tonha menjadi 5,7 ton ha, penambahan areal sawah seluas 130.000 ha, pengurangan susut panen 1,5% per tahun serta penurunan konsumsi beras 1,5% per kapita per tahun. Upaya peningkatan produktivitas dilakukan dengan cara, perbaikan 18,8% per tahun dari total jaringan irigasi, penggunaan pupuk berimbang 70% dari total luas tanam, penggunaan benih varietas unggul bermutu minimal 60%, pengendalian OPT (Organisme Pengganggu Tanaman) dengan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) dan Spot Stop mencapai 70%, serta peningkatan intensitas penyuluhan 50% dari total desa.

Sementara itu, upaya swasembada jagung dilakukan dengan cara peningkatan produktivitas dari 4,7 tonha menjadi 5,8 tonha dan penambahan luas panen minimal 5% per tahun. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan peningkatan bantuan benih hibrida mencapai 80%, peningkatan penggunaan pupuk menjadi 54%, peningkatan intensitas penyuluhan, peningkatan ketersediaan air pada 25% lahan serta perbaikan penanganan pasca panen untuk penurunan susut 1%.

Adapun upaya menuju swasembada kedelai dilakukan dengan cara peningkatan produktivitas dari 1,3 tonha menjadi 1,54 tonha, penambahan luas tanam dari 700 ribu hektar menjadi 2 juta hektar dan penumbuhan industri perbenihan di lokasi sentra produksi. Peningkatan produktivitas kedelai dilakukan dengan cara bantuan benih unggul 80% dari total luas pertanaman, penggunaan pupuk sebesar 80%, bantuan alat perontok untuk mengurangi susut 0,5% serta pengendalian OPT melalui PHT dan spot stop. Swasembada komoditas gula dilakukan dengan peningkatan produktivitas dan rendeman tebu serta perluasan areal tebu sekitar 350 ribu hektar serta rawat ratoon. Peningkatan produktivitas dilakukan dengan cara penyediaan benih tepat waktu, jumlah dan mutu melalui penerapan kultur jaringan dan pembinaan penangkar, benih varietas unggul dengan produktivitas di atas 100 ton per hektar per tahun serta distribusi benih sesuai kebutuhan varietas di wilayah pabrik gula.

Upaya menuju swasembada daging dilakukan dengan peningkatan hijauan pakan ternak (HPT), penurunan alokasi impor sapidaging sapi dari 53,05% (2010) menjadi 34,91% (2011) dan 10% pada tahun 2014, penanggulangan penyakit gangguan reproduksi terhadap 91.000 ekor dan penambahan berat badan harian sapi lokal 0,4 – 0,8 kg.

Sejalan dengan kemandirian pangan, pemerintah terus melakukan peningkatan diversifikasi pangan dengan target tercapainya penurunan konsumsi beras minimal sebesar 1,5% perkapitatahun, dan penganekaragaman pangan yang berbasis sumberdaya lokal. Selain itu, peningkatan kesejahteraan petani juga menjadi perhatian pemerintah, diharapkan nilai tukar petani (NTP) pada tahun 2014 mencapai 105 – 110.

Sektor pertanian memiliki peran strategis dalam pembangunan karena menyerap sekitar 33,32% total tenaga kerja serta sebagai sumber utama hampir 70% pendapatan rumah tangga di perdesaan. Sektor pertanian juga penyedia 87% bahan baku industri kecil dan menengah dan merupakan penghasil devisa negara sebesar USD 43,37 miliar serta menyumbang 14,72% Product Domestic Bruto (PDB).***(Diana dan Sahat)
Baca Juga Artikel Terkait Lainnya